Kita pasti gak asing sama pernyataan:
"Bukan salahmu jika kamu terlahir miskin, tapi kalau kamu mati dalam keadaan miskin, itu adalah salahmu."
Kalau nggak salah, Bill Gates yang bilang.
Bisa jadi benar. Bisa jadi nggak.
Dalam tulisan ini, gw gak setuju dengan pernyataan itu.
Life sucks.
Sekeras apa pun usaha kita, hasilnya (sayangnya) gak selalu sesuai dengan apa yang kita mau. Jalan orang beda-beda katanya.
Keluarga kami memang bukan orang miskin sampai berkekurangan. Gue pribadi, hidup cukup. Berkelimpahan? Bisa iya, bisa tidak. Tergantung bagaimana kita memandangnya.
Tapi, kalau boleh cerita, opa gw bukanlah tipe orang ideal kalau kalian mencari definisi kesuksesan dan kekayaan.
Buat orang Indonesia, kekayaan mungkin dilihat dari punya barang mewah, atau at least mobil minibus standar. Atau, yang paling basic: rumah.
Bisa dibilang, itu adalah standar "kecukupan" yang ideal bagi kebanyakan orang Indonesia.
Tapi, Opa nggak punya itu semua.
Rumah? Ngontrak.
Mobil? Boro-boro.
Motor? Gak ada juga.
Pas kecil, tentu aja dia punya rumah sendiri. Rumah orang tuanya.
Tapi sejak berkeluarga, menikah sama Oma, punya nyokap gw beserta adik-adiknya, mereka tinggal pindah-pindah. At least, itu yang gue tahu.
Kalau beberapa oma dan opa punya tabungan di bank untuk jajannya sehari-hari pas masa tua, nggak dengan Oma Opa.
Kalau istilah sandwich generation baru hits sekarang, nyokap sudah melakukan itu sejak dulu. Sejak roti belum jadi sandwich. Mulai dari urusan beras, makan sehari-hari, air, listrik, telepon.
Gak semudah itu buat Opa atau Oma mengeluarkan uang. Bukan karena pelit, karena uangnya ga ada, apa yang mau dikeluarin.
Jadi, yah… berkelimpahan? Gak, kalau ukuran berkelimpahannya sesuai standar tidak tertulis yang diamini bersama.
Tapi, satu yang paling kelihatan dari Opa, kerja kerasnya.
Dia punya 4 anak. Dua dokter, dua arsitek.
Semua berhasil selesai sekolah.
Dia bahkan juga bisa nyekolahin 1 cucunya sampai sarjana. Lima orang dia sekolahin dalam keadaan Oma di rumah, dia kerja sendirian.
Di usianya yang udah 80 tahunan, dia masih kerja. Jadi penerjemah bahasa Mandarin - Indonesia. Pernah dia udah menerjemahkan, kemudian honornya nggak dibayar. Kliennya ngilang gitu aja.
Para freelancer atau anak ahensi can relate, kan?
Bukan, ini bukan kejadian di masa produktifnya. Ini kejadian di usia senjanya, beberapa tahun lalu.
Inget banget gimana strugglingnya orang setua itu berusaha memahami cara kerja komputer, Microsoft Word, flash disk, dan email. Yah, struggling juga ngajarinnya. Kalau lagi kerja di rumahnya, sampe keringetan-keringetan. Biasanya doi buka baju… pake celana doang. Yaah, khas bapak-bapak gitu hehe makanya inget keringetnya ngalir…
Opa udah kena serangan stroke beberapa kali. Strokenya itu ngebuat dia susah jalan. Tapi, dia tetep jalan kaki dari rumahnya ke rumah gue, yang mungkin sekitar 700 meter. Jalannya ga besar-besar langkahnya, karena kakinya sedikit menyeret. Ya gara-gara strokenya itu. Ngapain jalan kaki? Buat ngeprint bahan yang harus dia terjemahin. Sulit buat dia bikin double window di komputer. Yah, dia udah lahir 10-15 tahun sebelum Indonesia merdeka. Mau ngarep apa?
Tapi, emang basicnya suka jalan aja dia dari dulu. Kadang, pagi-pagi tau udah sampe rumah, buat baca koran. Ntar pulang lagi.
Inget banget, karena Opa buta sama internet, dia (atau Oma) harus bolak-balik ke ATM yang jaraknya 800an meter buat cek saldo. Dalam sehari, bisa kali 3-5x bolak-balik pas hasil terjemahannya udah dikirim dan nungguin transferan. Bolak-baliknya bisa 2 harian lebih gara-gara duitnya ga masuk-masuk.
Ngapain, sih, segitunya bolak-balik? Ya, karena emang hanya itu harapannya. Ga ada lagi di rumah. Ada juga 2ribuan, 5 ribuan tu di dompet Oma.
Saldo di ATM? Ada 3 juta aja bagus banget. Seringnya sisa 10.000, karena selalu dikuras habis. Untung aja lama-lama paham teknologi Klik BCA. Jadi ga kudu mondar-mandir. Terima kasih, BCA 🤣
Jaman usia 60-70an kalo ga salah, dia juga masih naik bus ke daerah Mangga Dua. Sendirian. Ngapain? Ngantor. Kerja. Tetep jadi penerjemah.
Tahu Yayasan Buddha Tzu Chi? Itu kantor Opa. Sebelum akhirnya pindah ke PIK. Jadi penerjemah juga.
Ngapain kerja sebegitunya? Ya buat memenuhi kebutuhan.
Setiap orang, setiap keluarga, setiap rumah, punya kompleksitasnya masing-masing. Melihat Opa kerja sebegitu kerasnya padahal katanya usia segitu harusnya dia "menikmati masa tuanya", kemudian mengingat pernyataan Gates sebelumnya, gue gak setuju.
Kalau aja orang kenal dan tahu seperti apa Opa, semua pasti akan mengamini seberapa kerasnya upaya Opa buat hidup cukup. Hanya jika orang tahu, seperti apa kisahnya dan masalah yang dia hadapi, semua akan setuju, bahwa dia selalu berusaha yang terbaik. Kadang, kami sebagai cucunya aja sebel liat dia begitu.
Jadi, kalo Bill Gates bilang salah Opa karena dia meninggal dalam keadaan "tetap miskin" … hmmm … gak.
Orang terkadang tidak dinilai dari seberapa banyak pencapaian yang sudah dia dapat.
Tapi, orang dinilai dari seberapa keras usaha yang dia lakukan.
Kurang hebat apa, di usia yang kudunya udah leyeh-leyeh, udah bengong-bengong, ini masih mondar-mandir, nerjemahin, nyari duit, keringetan-keringetan. Semangat hidup yang beneran kelihatan dari luar.. gue aja ga sebegitu semangat 🤣
Jadi, jelas, dalam hal kerja keras dan semangat hidup, Opa gw sangat membanggakan. Hanya aja, mungkin hidup kurang berpihak aja sama dia.
Tapi … kalo dipikir-pikir, Opa mungkin ga berkelimpahan, tapi cukup iya. Yah, kurang-kurang dikit masih bisalah kita tambal. Hidupnya keras, iya. Tapi (semoga) gak menjadikan kehidupannya menderita sengsara.
Sambil membayangkan dan menulis ini, jadi teringat suatu ayat:
"Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman."
Opa benar-benar sudah mengakhiri pertandingannya dengan sangat baik. Dia telah melakukan segala upaya terbaik yang bisa dia lakukan selama hidupnya.
Semoga, usahanya, kerja kerasnya, keyakinan akan dirinya, boleh mengantar Opa untuk duduk di sisi kanan Allah Bapa.
Rest in peace, Opa…
20 Nov 1933-26 Agustus 2022