Suatu hari, seorang anak datang dengan wajah muram. Percaya, salah bertanya satu kali lagi, air matanya tumpah.
"Kenapa?"
Sang anak menjawab, ia lelah katanya.
"Lelah kenapa?"
Tanpa henti, ia menerangkan, "Berkali-kali aku dihadapkan pada pilihan yang sulit. Ayahku mengajakku berlibur ke Eropa. Sementara ibuku mengajak ke Jepang. Aku suka dua-duanya, baik lokasi ataupun yang mengajak."
Masih belum jelas di mana sulitnya dan kenapa lelahnya.
"Keduanya punya keindahan masing-masing yang tak pernah habis. Jadi, sekalipun keduanya pernah kukunjungi, aku selalu rindu untuk kembali. Mereka mengajak di waktu yang berbeda. Buat kami, uang tak masalah. Waktu juga."
Apa-apaan ini? Di mana letak sulitnya pilihan itu? Enak juga lelah karena kaya.
"Kedua orangtuaku bercerai tahun lalu."
Eh...?
"Ibuku kini bisa dibilang malas melihat muka Ayah. Tapi, ia tak pernah melarangku bertemu," ia terus melanjutkan. "Aku tinggal sendiri, omong-omong. Di rumah pemberian orangtuaku lengkap dengan pelayan dan tak pusing memikirkan biaya operasional. Aku mencoba untuk tidak tinggal bersama mereka. Sudah kubilang kan tadi, uang bukan masalah untukku?"
Ya, kau sudah bilang.
"Sebenarnya, bisa saja aku tinggal jalan ke dua tempat itu. Toh mereka berdua tak masalah sama sekali dan tak menaruh dendam. Ibu mengizinkanku pergi dengan Ayah, Ayah pun. Hanya saja, aku tak bisa membuang pikiran yang terus mengingatkan, 'bagaimana rasanya nanti ibumu melihatmu memamerkan foto dengan ayahmu di depan Warner Bros. Studio London?' atau 'Dulu kau makan ramen ini bertiga.'
"Belum lagi nanti ada suara yang bilang, 'Aku maunya kita pergi bersama. Aku senang di sini, tapi senangnya nggak lengkap karena aku terus membayangkan Ayah atau Ibu yang sedang tidak bersama dengan kita.' Sejak dulu, hatiku selalu hangat kalau kita pergi bersama. Walau saat terakhir, aku sudah melihat baik Ayah atau Ibu terlihat canggung dan tidak nyaman ketika kami berlibur bersama."
Yah, keinginan memang terkadang nggak berbanding lurus dengan kenyataan, Dik...
"Aku ingin kami bisa bersama-sama. Aku lelah tiap kali harus memikirkan, bagaimana perasaan Ibu nanti kalau aku pergi sama Ayah. Atau, apa yang Ayah pikir ketika menatap fotoku bersama Ibu yang tersenyum lebar saat dia tak ada. Belum lagi memikirkan, 'Ayah makan apa, ya, sekarang?' pas jalan sama Ibu."
Bukankah itu hanya ketakutannya saja?
"Aku tahu, itu sebenarnya mungkin hanya terjadi di pikiranku. Bisa jadi benar Ayah atau Ibu akan berpikir begitu. Bisa jadi juga tidak. Semua belum terjadi."
Sadar juga dia rupanya....
"Tapi, sulit sekali mengenyahkannya dari pikiranku. Ramai betul dia bergantian muncul di kepala. Aku jadi lelah...."
"Sepertinya, lebih baik aku lenyap saja dari dunia ini---atau dunia mereka, deh, minimal. Biar aku tak lelah menghadapi pikiran dan pilihan itu. Biar mereka tak perlu kecewa dengan apa pun pilihanku, dan aku juga tak usah pusing mitigasi pilihan-pilihan itu."
Tak tahan, aku bertanya, "Memang, kau sama sekali tak akan bahagia jika menjalani sesuai dengan keadaan yang baru itu? Apakah hilangnya dirimu dari dunia mereka sebanding dengan kebahagiaan yang mungkin kamu akan dapat? Meski kebahagiaan itu wujudnya berbeda."
"Aku bahagia bersama mereka. Malah, aku yakin aku akan tetap bahagia---bahagia yang beda tentu saja---kalau menjalani seapaadanya. Tapi, aku juga lelah. Sangat lelah setiap kali ada pilihan, aku harus berhadapan dengan pikiranku sendiri.
"Aku lelah setiap kali notifikasi ponsel masuk berisi ajakan pergi dari salah satunya, aku akan langsung gemetar dan jantungku berdebar. Semua pikiran, juga kekhawatiranku berhamburan memenuhi kepalaku. Aku tak tahan dengan pikiranku sendiri.
"Sebenarnya, aku masih belum bisa terima perpisahan mereka. Kalau salah satu dari mereka mau usaha lebih, pasti bisa, kok! Yah, setidaknya itu menurutku.
"Maka itu, aku lelah. Aku belum terima. Aku mau lenyap, supaya nggak harus kepikiran itu lagi, supaya nggak usah berdebar lagi tiap baca notifikasi ponsel."
More: Living in My Head