Nostalgia Resah

Menjelang 33 tahun, kepala rasanya ramai banget. 

Ada aja yang dipikirin.

Mikirin: dikit lagi usia reproduksi habis, yang artinya sudah sedekat itu dengan batas akan dibilang "wanita tua".

Mikirin: ternyata pernah ada fase dalam hidup di mana gue harus di-layoff.
Di bayangan Rena kecil, hidup sesederhana sekolah-kuliah-kerja-pensiun.
Yah, tahap besarnya bisa jadi sama. Tapi, ga nyangka belokannya banyak banget. 

Mikirin: oh, ternyata gue bisa juga punya kesempatan hidup nyaman, walau zaman sekolah dulu nggak seberkekurangan itu juga.

Mikirin: gila juga, ya, Oma yang dulu lari (literally) ke sana kemari belanja ini itu, sekarang cuma bisa nanya, "Sekarang jam berapa?", "Ini siapaja aja yang belum pulang?", "Di atas ada orang nggak?" repeat tiap menit.

Mikirin: ternyata, bokap nyokap yang dulu ke sana kemari, naik bus berdiri Bekasi-Grogol atau nyokap naik Elf dari Bekasi-Cikarang sore-sore tahun 90'an, ada juga fase dalam hidupnya harus menjalani operasi, tiba-tiba stroke mini, dirawat di RS, kolesterol tinggi, dan lain-lain. 

Mikirin: dipelihara juga ya gue ternyata, hidup hampir 2 tahun nggak punya kerjaan tetap, rezeki masih ada juga.

Kepikiran juga hal-hal remeh, oon, nan tidak penting: "Wah, Kakak gue yang dulu berantem mulu sama gue, yang gue tau kerjanya bolos pas SMA, tahun ini udah kepala 4" atau "Adik gue yang dulu ikutan gue main pake kutang, yang dulu gue mandiin, yang dulu gue berantem sama dia sampe kukunya copot, sekarang udah jarang keliatan bentuknya dan udah mau nikah katanya."


Mikirin soal kerjaan:

"Gimana ya, nih, kalau gue nggak punya kerjaan tetap lagi."
"Nyari duit gimana lagi, ya."
"Kalau semua diambil AI, gue kerja apa, ya."
"Gue tuh bisanya apa sih, masa nggak punya skill apa-apa."
"Mau kerja di mana lagi nih, ya."
"Kelamaan nganggur udah nggak laku ini mah di bursa kerja."
"Kudu ambil course apa lagi, ya, biar upgrade ilmu?"
"Apa iya kudu switch career ke dunia fitness?"
"Halah, bisa apa lu rena jadi instruktur. Udah oke banget emang olahraga lo hari-hari?"


Sampe ke remeh-temeh hidup sehari-hari:

"Dia sebel nggak ya, kalau gue bercandain gini?"
"Gue sok asyik nggak ya, kalau share soal ini di Instagram?"
"Ah, gue diem aja, deh. Kayaknya gue nggak pantes gabung di obrolan dan circle ini, mereka pada hebat-hebat."
"Gue jahat nggak sih kalau temen ulang tahun nggak ngasih kado?"
"Gue harus ngingetin di grup nggak, ya, kalo ada yang ulang tahun?"
"Kok gue jadi kaya ngomporin?"
"Kok gue baper amat digituin aja bete?"
"Gue nih palsu banget kayanya?"
"Pertanyaan gue nih kok agak oon juga, ya."
"Duh, chat gue nggak dibales. Gue ganggu, ya?"
"Gue tuh kok cuma ikut-ikutan aja, nggak punya pendirian?
"Kok gue mikirnya jahat terus ya ke mereka?"

Di tengah refleksi-refleksi yang lagi mau disambut dan dijalani itu, muncul juga potongan-potongan dari masa lalu yang gue pikir, gue udah lupa:

  • Dijemput Papa pulang sekolah waktu SD naik Vespa hari Sabtu
  • Makan mi ayam bareng Papa pas dijemput
  • Pergi ke mall berdua sama Mama.
  • Ikut Mama ke kerja ke puskesmas sekalian periksa gigi
  • Naik becak pulang sekolah kalau dijemput Mama, sambil agak malu karena teman-teman dijemput naik mobil (YA PADAHAL ADA JUGA YANG NAIK BECAK SAMA MOTOR)
  • Pergi naik motor sama kakak sore-sore buat nyari baju-baju murah yang bisa dia pake kuliah
  • Makan Sushi Tei berdua doang sama adik
  • Main treasure hunt ala-ala sama Whisnu (gue yakin dia nggak inget)
  • Beli makan siang ke samping Alfa sama Whisnu berdua doang karena bokap nyokap kerja sambil berseragam
  • Keliling perumahan sekelurahan sama temen-temen kompleks naik motor bonceng tiga
  • Nongkrong di sekolah sampe sore zaman SMP cuma buat liat gebetan main basket
  • Punya "salam khusus" kalo Maynard mau pulang habis pulang ngapel di malam minggu

Pas potongannya muncul, kaget juga.
"Oh, iya... ada juga ya, fase itu di dalam hidup."
"Seru juga, ya, dulu...."

Ternyata, banyak memori baik yang gue kira gue udah lupa.
Memori yang nggak tau ada di rak sebelah mana di otak selama tahunan.
Memori yang mungkin hilang karena sibuk mikirin hal-hal yang mungkin cuma kekhawatiran semata.

Gue pernah menulis,
Hidup kalau lihatnya sepotong, berasanya sedih aja. Nggak ada bahagianya, sama sekali.

Setelah menulis itu, apa terus gue selalu mawas diri? Tentu tidak.
Overthinking berlarut-larut, mengaburkan keseluruhan cerita.
Sampai akhirnya, potongan nostalgia masa lalu tiba-tiba muncul.
Ternyata, benar. Kalau dilihat secara keseluruhan, keseluruhan ceritanya masih menyenangkan. 
Belum lagi setiap memori baik yang muncul di waktu dekat.
Masih baik juga, kan, Ren?

Usia bertambah, kirain bakal makin mudah ambil keputusan.
Tapi ternyata, malah sebaliknya.
Usia bertambah, kirain pengalaman yang harusnya makin banyak bisa bikin mikir lebih jernih.
Ternyata, 180 derajat sebaliknya.
Usia bertambah, berkali-kali nulis soal overthinking, kirain bakalan getting better...
Ternyata sama aja.

Terus, tahu-tahu, muncul lagi sebuah postingan:

Segala hal yang kini terasa begitu penting, akan sirna lenyap tanpa bekas.
Jadi, untuk apa kita habiskan waktu berharga dengan menganggap segalanya terlalu serius?
Mengapa teramat peduli pada pandangan orang?
Mengapa gelisah oleh perkara remeh?
.....
Daripada hanyut dalam pikiran yang tak berujung, hadapilah dunia,
rasakan pengalaman baru.


Is that You speaking directly to me?