Renungan 30 Tahun

Hampir 1 bulan kemarin nggak buka Instagram. Nggak lihat postingan teman, nggak lihat story yang diupload, nggak upload story, nggak balas DM Instagram.

Katanya, ini namanya detox.
Yah, bisa jadi benar.

Rasanya, satu bulan lalu dunia sesak banget. Informasi banjir di mana-mana.

Setiap yang dilihat, malah berbalik menyerang diri sendiri.
Menyerang dengan pertanyaan,

"Kapan giliran lo?"
"Mereka udah sampe sini, lho."
"Lo ketinggalan tuh."

Beberapa tahun lalu pernah baca sebuah kutipan bagus banget.

"Bisakah kita berbahagia atas kebahagiaan orang lain, tanpa harus diikuti dengan pertanyaan tentang kebahagiaan diri sendiri"

Sejak itu, berbahagia buat orang lain, tanpa harus melihat diri sendiri jadi mimpi.

Susah, ya, ternyata.

Nggak berarti benci melihat kesuksesan teman.
Bukan berarti, berharap orang lain berada "di bawah" terus.
Bukan maksudnya bilang mereka nggak pantas dapet semua itu.
Nggak maksud juga mau semua orang lain sedih biar diri sendiri bisa tampil jadi sosok pahlawan.

Cuma, rasanya lebih ke "kenapa mereka udah sukses, gue belum?"

Hal itulah yang kemudian membawa pada keputusan untuk berhenti dulu melihat sosial media.

Ada yang bilang, "Harusnya, apa yang terjadi di luar itu nggak memengaruhi kamu. Nggak usah peduliin mereka gimana, yang penting kamu melakukan yang terbaik yang kamu bisa."

Benar.
Tapi, susah.

Jadi, lakukan dari yang paling bisa dilakukan aja dulu. Dalam hal ini, membatasi informasi yang masuk.

Ternyata, damai juga rasanya.

Nggak perlu ketambahan pikiran "Duh, kenapa gue nggak kaya mereka. Kenapa gue stuck di sini."

Kehilangan informasi terbaru? Jelas.
Tapi, kalau bisa ditukar dengan kedamaian, yaudah.

Melihat orang lain, kadang membuat diri ini jadi berekspektasi terlalu tinggi pada hidup.
Seolah, yang mereka tampilin dalam sosial media adalah gambaran sebenarnya hidup mereka. Padahal, cuma secuil aja yang muncul.

Melihat yang cuma secuil itu mau nggak mau, sadar nggak sadar, jadi bikin diri ini berasa lagi lomba. Sibuk mengejar ekspektasi. Nggak tau lomba dengan siapa, nggak tahu ekspektasi siapa.

Belum lagi pikiran dan ketakutan tentang diterima orang lain atau nggak. Bahkan sama orang terdekat. 

"Mereka akan mau paham nggak ya alasan kita?"
"Mereka akan berlaku sama nggak ya, kalau gue melakukannya dengan cara yang berbeda?"
"Mereka tetep bakal bareng gue ya, kalau gue memilih satu jalan tertentu dibanding yang lain?"

Padahal katanya, kalau teman dekat menerima kita apa adanya selama kita nggak merugikan mereka.

Padahal juga, kenapa harus menakutkan hal-hal semacam itu? Pada akhirnya, yang benar-benar dekat dan tulus yang akan bertahan, kan?

Masuk usia 30, berharap bisa jadi orang yang lebih damai.

Nggak lagi bertanya terlalu sering tentang kebahagiaan diri sendiri saat melihat orang bahagia.
Nggak lagi pura-pura cuma buat diterima orang lain.

Mungkin, selama hampir 30 tahun ini, gue hanya penuh kepura-puraan? Entahlah.

Bertambahnya usia jadi bikin inget, waktu di dunia pasti berkurang.
Bukan cuma waktu kita, tapi juga waktu orang yang kita sayang.

Jadi, mungkin bisa udahan aja pura-puranya?
Mungkin bisa mulai melihat dunia ya seapaadanya dunia aja.

Orang lain bahagia, ya mereka bahagia.
Stop di situ.

Nggak usah dilanjut "Semua orang sukses, kok gue masih gini-gini aja?"

Mau melakukan sesuatu yang membawa kedamaian, ya lakuin aja selama nggak menyakiti orang lain.
Ada yang nggak terima? Yaudah, biarin.
Apalagi kalau setelah introspeksi, nggak ada kesalahan yang dilakuin. Kenapa harus mau diterima semua orang?

Katanya, "Tuhan saja dibenci setan."

Tapi, bisa nggak, ya, secuek itu?