Udah hari ke-9 di 2024, tapi tangan masih kaku mau ngetiknya ke angka 3.
Tulisan ini sebenarnya sudah ada di kepala dari kuarter akhir tahun lalu.
Hanya saja, baru sempat dituangkan sekarang.
Sok sibuk. Padahal pengangguran, hehe.
Kirain, 2023 bakal biasa-biasa aja. Ternyata bener, emang kejutan datangnya suka di akhir :)
2023 punya cerita sendiri.
Mulai dari kesadaran, keikhlasan, kebahagiaan, sampai kegamangan.
Satu yang paling menyadarkan, tentang menghakimi.
Betapa mudah pada tahun itu penghakiman terlintas di pikiran secepat kilat, pada siapa pun. Hanya bermodal pesan singkat atau postingan di media sosial.
Hanya karena melihat seseorang tertawa di sosial media, kita langsung berpikir, "Enak ya hidupnya, bahagia terus."
Hanya karena melihat orang lain dengan mudahnya pindah kerja, pikiran lain menyahut, "Gampang banget dapet kerja. Gue udah sebar ke mana-mana, dipanggil juga nggak."
Tidak pernah melihat seseorang update kegiatan ibadahnya di media sosial ataupun berkata hal-hal rohaniah, kita langsung berpikir, "Dia mah agama KTP doang."
Tidak pernah melihat seseorang berolahraga hanya karena dia tidak upload atau bercerita, lantas kita berkata, "Makanya rajin olahraga, deh. Biar imunnya kuat," kata kita saat ia sakit untuk yang kedua kalinya pada bulan yang sama.
Hanya karena yang dia tampilkan di luar senyum dan tawa, kita langsung menuding, "Enak ya, jadi dia, hidupnya mudah. Ada suami, keluarganya kaya. Lah, gue?"
Hanya karena melihat seseorang tidak pernah pindah kantor, sementara kita selalu pindah, membuat kita langsung berasumsi, "Dia mah emang males aja cari kerjaan baru, tapi ngeluh mulu."
Hanya karena ia kebetulan berbagi, kita langsung menganggap ia cukup berada dan tak akan keberatan dengan setiap permintaan kita.
Hanya karena melihat seseorang mengunggah kegiatan ibadahnya di hari minggu, otak nyinyir bilang, "Pamer amat ke gereja, bukannya fokus."
Padahal, kita nggak tahu bahwa dia mungkin lagi dalam masalah besar. Dan setiap ayat, lirik lagu, homili yang dia dengarkan menjadi penguatnya saat itu. Dan mau dia abadikan agar bisa terus kuat dan terus ingat.Mengetahui seorang teman lebih memilih teman yang satu daripada yang lainnya, langsung seketika membuat kita berpikir, "Kenapa dia nggak milih gue, ya? Apa gue kurang baik sebagai teman? Apa gue nggak mampu? Kurang kompeten? Bener, kan. Selama ini tuh emang gue nggak bisa apa-apa."
Padahal, mungkin dia tahu bahwa ada orang lain yang sedang membutuhkan dia saat itu. Tidak ada pertolongan lagi dari orang lain kalau bukan dari dia. Sementara kita, sudah punya banyak rencana cadangan.Hanya karena kita tahu ia sering melancong ke berbagai negara setiap tahun, kita langsung berpendapat, "Gila, enak amat kerjanya santai, gaji gede, bisa jalan-jalan."
Padahal itu semua harus dibayar dengan lembur setiap malam, stres datang-hilang-datang lagi, waktu istirahat yang kurang, bahkan sampai mengorbankan mimpi yang dulu ia pupuk.Hanya karena seorang teman mengunggah pemberian temannya di media sosial, lagi-lagi kita berpikir, "Yailah, mau pamer banyak yang ngasih apa gimana?"
Padahal yang dia lakukan sembari membantu temannya yang sedang membuka usaha.Hanya karena seseorang tidak pernah memulai pembicaraan, membalas, atau bersikap acuh tak acuh, kita langsung menghakimi, "Oh, emang ni orang udah nggak peduli dan nggak mau temenenan sama gue."
Padahal, sedang ada deadline yang menantinya di akhir hari yang tinggal beberapa jam.Atau malah, ia baru saja berduka.
Hanya karena seseorang tidak pernah lagi mengunggah fotonya dengan pasangan ke media sosial, kita berprasangka, "Mereka lagi ada masalah."
Menghakimi jauh lebih mudah.
Jauh lebih cepat, bahkan kurang dari hitungan detik.
Sebab, butuh waktu untuk memahami. Butuh tenaga untuk otak bisa memproses.
Sementara, otak kita mungkin terlalu lelah untuk berpikir. Tak ada lagi energi.
Jadi, untuk apa kita buang waktu dan tenaga? pikirnya.
Maka, kita memilih jalan pintas.
Menilai dari permukaan, dari yang terlihat, tanpa tahu apa yang ada di bawah akar.
Tanpa tahu, ada 1.000 kejadian lain apa yang tidak tampak.
Padahal, seujung kuku pun kita tak tahu apa yang benar-benar sudah setiap orang lalui.
Sekalipun, saat kita merasa mengenal dengan sangat dekat.
Apa yang dibagikan hanyalah secuil dari seluruh kehidupan. Sepotong cerita yang mungkin tidak bisa dijadikan kesimpulan valid.
Tahun 2024, semoga lebih banyak keinginan dan tenaga untuk berpikir daripada menghakimi.
Untuk terus memahami bahwa apa yang tampak di luar bukan keadaan sebenarnya.
Untuk sadar, bahwa setiap orang memiliki masalahnya masing-masing.
Semoga.