Setiap peristiwa mengajarkan sesuatu dalam hidup. Begitu juga fase dalam bekerja.
Kantor pertama, mengajarkan bagaimana sebuah lingkungan kerja yang nyaman, kondusif. Bayaran yang mungkin tidak spektakuler, nggak jadi soal karena inilah rumah kedua. Rumah yang terus membuat kita kembali.
Kantor kedua, mengajarkan apa yang disuka dan tidak. Menemukan diri sendiri, tentu jadi salah satu perjalanan yang juga berharga.
Kantor ketiga, membangkitkan lagi mimpi yang dulu pernah dikubur. Meski jalannya beda, kami bersinggungan. Kami bersebelahan.
Di tempat ini, semangat belajar, semangat memberikan yang terbaik, memberikan sepenuhnya yang kita bisa, semuanya keluar. Menemukan teman-teman yang punya satu visi, bekerja sama untuk menjadikan sesuatu yang lebih baik.
Bisa dibilang, inilah fase terbaik dalam hidup.
Kantor keempat, tempat yang seharusnya jadi sekoci penyelamat, malah justru tenggelam lebih dulu. Biar tenggelam, tetap pelajaran itu ada. Pelajaran itu tetap ada di permukaan, nggak ikut tenggelam sampai ke dasar.
Malah, mungkin di sinilah pelajaran terbanyak itu hadir. Terombang-ambing bertebaran di permukaan.
Pelajaran tentang bahwa hidup kadang memang tidak adil.
Tentang menjadi berkuasa mungkin tak senikmat kelihatannya, tak semudah bayangan. Mungkin, yang paling mudah dari menjadi seseorang yang memiliki kuasa dan uang adalah memperlakukan orang lain dengan seenaknya.
Menutup mata jauh lebih mudah daripada harus memikirkan apa yang mungkin terjadi sama orang lain. Dipikirnya, “Ah, baiklah jika kita tunda dulu untuk sekarang. Tunggu sebulan? Dua bulan? Tak jadi soal. Toh pada akhirnya mereka tetap dapat. Kami hanya menunda, entah sampai kapan.”
Yah, tapi itu kan hanya pikiran buruk. Entah apa yang sebenarnya terjadi.
Pelajaran lain adalah tentang kesabaran dan meredam emosi. Tentang kata-kata yang tak terkata berubah jadi air mata. Tentang menahan sumpah serapah yang sudah di ujung lidah, hanya karena kita tahu bahwa itu bukanlah hal yang benar untuk dilakukan.
Tentang kenyataan, bahwa di luar sana, banyak orang yang sama sekali tak terselami cara pikirnya. Yang tampak tak manusiawi. Yang tampak tidak masuk akal. Yang tidak bisa dipahami. Nyatanya, kisah itu tak sejauh di layar kaca.
Tentang berserah. Saat tak tahu lagi harus apa, saat yang ingin terucap dari mulut hanyalah caci maki. Saat tak ada lagi yang bisa dilakukan. Saat semua akan segera terjadi di depan mata tanpa bisa dicegah atau diantisipasi.
Nggak ada lagi yang bisa dilakuin, selain menjadi penonton. Mungkin dengan tatapan kosong.
Tentang berusaha untuk terus yakin bahwa Tuhan nggak pernah meninggalkan. Yang langsung mengganti saat kehilangan. Yang memberi kebahagiaan hanya dari hal sesederhana “diingat” oleh orang. Yang memberi ketenangan, lewat setiap kesempatan.
Semoga, setiap pelajaran baik cukup untuk membangkitkan ingatan, bahwa diri ini masih punya nilai.