Tentang Ekspektasi, Overthinking, dan Jadi Dewasa

Hari terakhir menyandang angka dua di depan kalau ditanya usia.

Padahal, masih agak jelas diingatan, saat mengucapkan selamat ulang tahun ke teman yang lebih dulu berumur 20 sepuluh tahun lalu. 

“Gimana rasanya udah kepala 2?”

Ya mau gimana lagi rasanya? Berharap dia jawab apa?

Selama 10 tahun menyandang angka 2 di depan, ternyata banyak juga yang udah kejadian. Padahal, kayanya cuma lewat gitu aja.

Katanya, days are long, years are short.

Mulai kerja pertama.
Resign pertama.
Nikah.
Pertama kali ke luar kota (Bandung doang padahal) sendirian.
Pertama kali ke luar negeri.
Pertama kali nonton konser.
Tahu muaknya dunia kerja pertama kali.
Ketemu dengan kerjaan ideal yang sangat menyenangkan untuk pertama kalinya.
Bertemu dengan orang yang jahat, yang dikiranya cuma ada di cerita pertama kali.

Yah, banyak ternyata yang udah kejadian.

Bukan cuma pertama kali dan sekali. Yang muak berkali-kali juga ada banget ternyata berasanya di umur 20-an.

Waktu zaman kecil dulu, hampir kita semua pernah mikir, “Mau cepet gede, biar bisa ini itu.” Tapi, setelah sebesar ini, ternyata kok gini hahaha

Waktu kecil, kayanya jarang malem-malem bengong overthinking.
Rasa-rasanya, nggak inget gimana dulu harus repot mengatur ekspektasi.
Entah memang tidak harus, atau memang sudah tidak ingat.

Kalau sekarang, overthinking dan mengatur ekspektasi jadi makanan sehari-hari, ngalahin makan rutin tiga kali sehari.
Mengatur ekspektasi diri sendiri saja belum selesai, memenuhi ekspektasi orang lain juga perlu dipikirkan.

Ngapain mikirin ekspektasi orang lain? Kau kan nggak makan dari mereka.

Nyatanya, setiap tindakan kecil akan melahirkan ekspektasi baru juga dari orang lain. Entah mereka sadar atau nggak, entah kita sadar atau nggak.

Balas cepat chat yang masuk, mereka berekspektasi kita balas cepat lagi di chat selanjutnya.
Melempar chat konyol disambut tawa, kita berekspektasi mereka ketawa lagi kalau suatu saat kita melemper jokes lain.
Meluangkan waktu untuk bertemu hari ini, mereka berekspektasi kita bisa melakukannya lagi di masa depan.
Menginisiasi buat ketemuan bareng temen segeng, mereka berekspektasi kita lagi yang arrange pertemuan selanjutnya.
Mengirimkan ucapan selamat ulang tahun tahun ini, mereka berekspektasi ucapan yang sama akan datang di tahun depan.

Entah kecil atau besar, mereka berekspektasi. Kita berekspektasi.

Masuk angka tiga di depan ini, tahun-tahun menjelang angka tiga, aktivitas utama selain kerja memang overthinking.

Jadi banyak mikir: 

Apa sih yang dimau saat ini?
Apa, sih, yang mau dikejar?
Yang udah kita lakuin sekarang, buat apa sebenarnya?
Buat nyenengin diri sendiri? Buat menuhin ekspektasi orang lain?

Yang dilakuin selama ini, bener-bener karena memang mau? Atau jangan-jangan, cuma demi menyenangkan orang lain?
Agar diterima orang lain?
Agar “punya teman”?

Apa akan sama jadinya, jika hal berbeda dilakukan? Masihkah diterima?

Atau jangan-jangan, selama ini kita yang salah mempersepsikan diri?

Kita kira, kita cukup baik, nyatanya malah menyebalkan.
Kita pikir, kira membantu, ternyata malah ikut campur.
Kita sangka, kita asyik, nyatanya malah menyakiti.

Susah banget masuk umur 30.

Ngukur ekspektasi diri, menuhin ekspektasi orang lain, takut ngecewain diri sendiri, takut ngecewain orang lain.

Yah, memang setiap fase hidup ada susahnya. Nggak mungkin semua gampang.

Nambah umur, nambah dewasa, nambah kesadaran, nambah mikir.

Yang perlu diingat, kita bukan pusat dunia. 

Berpikir bahwa kita pusat dunia, cuma akan terus melahirkan ekspektasi-ekspektasi yang nggak akan habis, yang nggak akan bisa dipenuhi.

Yah, walaupun nggak mungkin juga hidup tanpa ekspektasi, setidaknya bisa nggak ya berusaha melihat hidup seapa adanya?