Dua Tahun Pandemi, Dapet Apa?

Tadinya tulisan ini mau dirilis jelang 2 tahun pandemi. Yah, itu tadinya. Tapi, lebih baik sekarang ketimbang tidak. Udah telanjur jadi juga tulisannya. 

Jadi, udah 2 tahun lebih pandemi, apa aja yang didapet?

Dua orang kenalan meninggal dunia (karena Covid tentu aja). Satu, om sendiri. Satu lagi, yah, tidak dekat, tapi kenal. Malah, seminggu sebelum dia dinyatakan positif covid, kami tiba2 tidak sengaja bertemu,

Ternyata kami 1 gedung kantor. Padahal, waktu itu adalah pertama kalinya wfo setelah dua tahun.

Apa lagi yang didapet?

Entah, mungkin teman2 yang semakin malas mengajak keluar.

Kehilangan banyak waktu dengan teman.
Kehilangan banyak waktu dengan keluarga.
Oh, itu hilang ya, bukan dapat.

Waktu awal pandemi, mungkin bakalan muak banget dan maki-maki lihat orang nggak pakai masker.

Kesel setengah mati lihat orang pakai maskernya di dagu.
Mau marah lihat orang seenaknya jalan dan nongkrong tanpa masker.
Sebel banget lihat orang posting jalan-jalan di awal pandemi karena menciptakan kesan “aman” palsu.
Benci ngelihat orang yang posting IGS dan bilang Covid cuma akal-akaln pemerintah.
Mau maki-maki lihat  orang pada nongkrong, santai, seolah dunia ini nggak pernah kelabakan 2 tahun ke belakang.

Udah 2 tahun gini, apa yang didapet?

Yang didapet “yaudah”.

Yaudah kalau orang lain mau mikir covid konspirasi.
Yaudah kalau orang lain nggak mau pakai masker, kitanya nggak usah deket-deket.
Yaudah kalau orang lain mau posting di IG bilang “kita udah covid free”, cukup lakuin yang kita yakini aman bagi diri kita.
Yaudah kalau orang lain masih mikir kita yang “sakit” karena masih worry ke mana-mana, karena menjelaskan alasan kita pun akan percuma.
Yaudah kalau orang lain udah jalan-jalan, ngadain hajatan, nggak jalanin protokol, kebutuhan tiap orang beda.
Yaudah kalau pemerintah mau cabut aturan ini itu karena katanya udah “aman”, mau gimana lagi, ekonomi harus tetep jalan.
Yaudah, nggak masalah kita tidak setuju pada satu pandangan yang sama. 

Kata orang, we agree to disagree.

Mungkin, satu pelajaran yang bisa diambil: berhenti berusaha menjelaskan diri pada orang lain hanya demi mempertahankan diri dan membuktikan pada orang lain bahwa kita punya alasan yang masuk akal atas tindakan yang kita lakukan. 

Karena, percuma.

Toh, nggak ada keuntungan apa pun ketika mereka paham atau nggak. Apalagi, untuk mereka yang "secara tidak sadar" sudah komit untuk nggak percaya dengan alasan apa pun.

Mengontrol orang lain nggak mungkin, kitalah yang mengontrol diri.

Menghormati keputusan orang lain walau mungkin tidak sesuai dengan keyakinan kita yaudah, karena emang hidup harusnya begitu, kan?

Nggak perlu marah, sebal, kesal, apalagi dendam hanya karena orang lain menganut nilai yang berbeda dengan kita.

Toh, kita berbeda dari mereka, mereka juga tidak jadi sebal? Tidak jadi menjauhi kita?
Kalau jadi menjauhi, yaudah. Emang nggak cocok hidup bareng cie.

Jadi, yasudah, jalani yang kita yakini aman bagi diri kita dan keluarga.

Sebab, di ujung hari, hanya ada kita dan keluarga.
Orang lain ada, tapi tidak dalam perasaan yang sama dengan kita dan keluarga.
Jika mereka punya perasaan yang sama? Namanya beruntung punya mereka, selain keluarga.