Dulu, pernah nonton FTV Ramadan (tentunya kala siaran TV masih lebih baik daripada sekarang). Ceritanya, seorang pemuda (Andre Taulany) mau mempersunting anaknya Pak Haji (Deddy Mizwar) yang diperankan sama Zaskia Adya Mecca.
Padahal, kenal juga nggak, tau-tau mau ngajak nikah. Mau taaruf. Pak Haji ngizinin dengan syarat, Mas Andre harus menguasai ilmu ikhlas. Dan dimulailah Mas Andre belajar biar bisa lulus.
-----
Sungguh, sebuah cerita pembuka yang amat ... tua.
Waktu nonton itu, pemahaman soal ilmu ikhlas hanya sebatas, "Kalau menolong orang jangan mengharap pamrih. Berikanlah dengan tulus ikhlas." Persis seperti yang tertulis di dalam buku paket PPKn.
Ya. Udah. Gitu aja pemahaman soal keikhlasan.
Sampai akhirnya, berbagai realita hidup datang, things didn't go as we planned, and nothing we can do about that.
Meski sudah paham bahwa keikhlasan tak hanya sebatas tidak mengharap pamrih, nggak serta-merta membuat gue aware bahwa ada hal-hal dalam hidup yang memang harus diikhlaskan. Bahwa ada hal-hal yang nggak bisa terwujud, dan itu nggak bisa diubah.
Kata orang-orang, untuk menguasai suatu skill, kita perlu berlatih terus-menerus. Yah, layaknya pas SMA yang terus-terusan remedial fisika meski udah belajar berkali-kali, nasib keikhlasan juga sama, at least buat gue.
Berkali-kali mengalami, harus belajar, berkali-kali juga tetap tidak bisa mempraktikkannya.
Pernah merasa sudah bisa, nyatanya, dia cuma terkubur aja. Saat ada trigger muncul, ketidakikhlasan kembali datang.
Sulit banget rasanya untuk mengikhlaskan sesuatu yang nggak berjalan sesuai dengan rencana.
Nggak ikhlas dengan fakta bahwa setiap orang bisa berbuat jahat kepada kita, akhirnya membenci dan dendam.
Nggak ikhlas bahwa ada mimpi yang tak terwujud dan tidak bisa diubah, akhirnya menderita dalam kesedihan.
Nggak ikhlas harus menjalani hidup yang mungkin sebenarnya bukan pilihan sendiri, akhirnya terus menyalahkan orang lain tanpa melihat segala kecukupan yang sebenarnya sudah di tangan.
Nggak ikhlas dengan kenyataan bahwa kita pernah salah mengambil keputusan, akhirnya terus menyalahkan diri, nggak berjalan maju.
Nggak ikhlas bahwa waktu nggak akan menunggu kita, akhirnya lupa untuk menikmati masa yang ada saat ini.
Ketidakikhlasan akhirnya membuat kita sulit berdamai dengan kehidupan.
Dulu, gue pernah menulis, hal tersulit dalam hidup adalah berdamai dengan diri sendiri. Ternyata, gue lupa, bahwa itu semua berawal dari ketidakikhlasan. Ketidakikhlasan yang akhirnya menahan diri untuk hidup damai.
Sayangnya, belajar ikhlas nggak lebih mudah daripada belajar berdamai dengan diri sendiri. Lebih sulit, iya....
Jadi, yah, sampai sekarang, sudah seusia ini masih belum lulus.
Hampir separuh hidup, habis untuk terus meratapi ketidakikhlasan, yang sialnya, bukannya berkurang malah terus bertambah.
Ibarat kerjaan, nulis satu artikel belum selesai, udah ketambahan 5 topik yang harus dikerjain.
Terus, harus gimana? Kata orang, life is never ending process. Jadi, yaudah. Jalanin aja (sambil tetep nggak ikhlas 😂), sambil diusahain.
Sambil coba dipikir lagi, jangan-jangan ketidakikhlasan yang selama ini dirasain, sebenernya karena menikmati? Karena "senang" bertindak sebagai korban?
Semoga sebelum angka di depan berubah dari dua ke tiga, satu per satu ketidakikhlasan, atau minimal satu aja, bisa berubah.