Keputusan dan Alasan yang Tepat untuk Resign (?)

 Tahun baru, kerjaan baru (lagi).

Capek? Jelas.

Senang? Harus.

Tahun 2021, akhirnya gw memutuskan untuk resign (lagi). Pernah kepikir untuk resign lagi? Nggak. 

Terus, kenapa resign?

Di kantor pertama dan kedua, entah kenapa gue mikir, "Kayanya gue nggak akan jadiin ini kantor terakhir, sih." Tapi, beda dengan yang ini. Sejak awal masuk ke kantor ini, dua setengah tahun lalu, gue udah bilang dalam hati, "Oke, gue bakalan lama di sini. Gue nggak mau lagi pindah-pindah. Ini udah sesuai banget sama yang gue mau selama ini. Ini bakal jadi kantor terakhir gue." Yes, I was so sure that I won't leaving this company. Faktornya banyak, mulai dari temen yang asyik dan kerjaan yang amat sangat gue sukai, fleksibilitas, bisa belajar bahasa Inggris pula karena bos kami bule. Faktor-faktor itu cukup untuk membuat gue yakin bahwa gw nggak akan lagi pindah ke lain hati.

Seiring berjalannya waktu, ada perubahan yang (mungkin) sebenarnya lumrah. Perubahan pertama muncul saat awal-awal employment (sekitar 6 bulan pertama), gue masih cukup yakin untuk tetap bertahan dan nggak nyari kerjaan baru. Padahal, gue-yang-biasa akan buru-buru cari kerjaan baru, karena merasa keadaan gw di sana saat itu "terancam". Daripada diputusin, lebih baik gue yang mutusin. Begitu pikir gue-yang-biasa.

Ya jelas aja nggak nyari, kan baru 6 bulan. Kalau baru sesebentar itu mah pasti ditahan-tahanin.

Mungkin nggak banyak yang tahu. Di episode kantor lain, gue pernah apply bahkan interview pekerjaan sampai ke user saat baru 2 bulan bekerja. Pencarian kerja sudah gue mulai ketika 1 bulan bekerja. Probation aja belum lulus. Dari situ, gue tahu, bahwa diri gue ternyata bisa melakukan hal itu apabila ada hal-hal yang nggak sesuai sama ekspektasi. Ditambah, lingkungan kantor saat itu juga kurang mendukung. Gue pun bisa dibilang agak "nganggur" saat itu. Kalau dipikir-pikir sekarang, kaget juga gue bisa begitu.

Jadi, 6 bulan pertama di kantor ini, dengan perubahan yang terjadi, memang gue tahan-tahanin. Tapi, bukan untuk alasan "baru sebentar". Karena, gue seyakin itu, dengan lingkungan yang menyenangkan, pekerjaan yang gue cintai, gue tahu akan ada sesuatu yang bisa gue ambil dari perjalanan kali ini. Apakah gue benar? Ya. And I'm grateful for that.

Lantas, apa alasan resign kali ini? Gue cukup beruntung sebenarnya. Setiap kali kepindahan yang gue lakukan biasanya bukan karena masalah gaji. Meskipun, gaji tetap menjadi pertimbangan saat menerima tawaran atau meninggalkan perusahaan. Jadi, apa alasannya? Mungkin, kalau gue bisa simpulkan, karena gue tidak mampu beradaptasi dengan perubahan yang muncul lagi setelahnya.

Terjadi perubahan yang lumayan di perusahaan sekitar setahun lalu. Setelah berusaha melihat-lihat situasi, kok kayanya gue tidak kunjung bisa menyesuaikan pace yang gue miliki dengan perubahan itu. Perubahan yang melahirkan perbedaan visi, misi, dan prinsip, yang nggak kunjung ketemu di antara kami setelah perubahan itu terjadi. Pernah kami bicarakan soal ini secara langsung, beberapa kali, tapi kesamaan visi itu tetap nggak kunjung datang. Ya, mungkin gue juga kurang giat untuk menyamakan visi misi. Mungkin juga, gue terlalu tinggi menetapkan ekspektasi. Intinya, kami nggak berada dalam satu frekuensi. Hal ini, membuat gue (dan mungkin beberapa rekan lainnya) cukup ... apa, ya ... kewalahan?

Sebelum bulat mengajukan surat pengunduran diri, gue sempat diskusi dengan seorang teman. Dia bilang, "Kalau alasan kepindahan lo karena orang lain, sebenarnya jadi nggak dewasa aja. Karena ini menjadi cara melarikan diri, bukan menyelesaikan masalah."

"Pindahlah karena memang lo ingin pindah, bukan karena orang lain."

Begitu katanya.

Di episode resign yang kedua, alasan gue resign adalah karena gue merasa bahwa ada kemampuan lain yang bisa gue kembangkan di luar sana. Terdengar klise, kan? Dan sok, mungkin. Tapi memang begitu. Waktu itu gue berpikir, gue nggak bisa di sini lama-lama. 

Beberapa orang mungkin mendambakan pekerjaan yang nggak ngapa-ngapain, tapi digaji. Gue juga, tapi kalau itu semua cuma bisa dinikmati sendiri, tanpa ada teman, mending nggak usah.

Jadi, bisa dibilang, resign kali itu merupakan keputusan yang datang dari diri sendiri, bukan karena orang lain. Sebuah keputusan resign supaya gue lebih "punya nilai" dalam apa yang gue kerjakan. Dan berakhirlah gue di sini. Resign lagi.

Jadi, maksudnya gimana? Gue sempat kepikiran sama apa yang orang lain bilang tentang gue yang bolak-balik resign. Percaya, deh. Gue pun nggak mau.

Tapi, dari dua kejadian ini, dari apa yang teman gue bilang, gue jadi paham bahwa masukan orang lain, pandangan orang lain, pemikiran seseorang saat diskusi mungkin saja, bisa jadi, tidak sepenuhnya valid. Mereka memberikan input, berdasarkan apa yang kita sarikan. Bukan yang kita alami. Beberapa bagian, mungkin saja bolong.

Karena, yang benar-benar mengetahui keseluruhan cerita adalah kita sendiri. Mengetahui pandangan mereka bisa menjadi referensi proses berpikir kita, yang bisa membantu kita membentuk pemikiran yang mungkin lebih matang. Tapi, kita yang benar-benar tahu bagaimana keadaan kita. Itulah faktor yang penting untuk menetapkan sebuah alasan.

"Resign sebaiknya emang bukan karena orang lain. Tapi, ingat juga bahwa setiap orang punya batas toleransi," lanjut seorang teman. "Lagian, Ren. Pekerjaan, kan, nggak kaya pernikahan yang terikat sekali seumur hidup. Nggak ada yang tahu kita ambil keputusan yang benar atau nggak, sampai kita menjalankannya. Kalau kau sudah punya pilihan, kau tinggal berdoa supaya dapat hikmat untuk memilih. Kau juga pasti kan sudah memikirkan untung ruginya. Lagian, ngapain, sih, peduliin kata orang."

Ya, beberapa orang mungkin akan mengira gue nggak punya pendirian. Beberapa orang juga mungkin akan berpikir gue kutu loncat, pengkhianat, apalagi kalau tahu gue ke mana. Atau bisa jadi, ada yang menilai gue oportunis. Tapi, gue paham, mereka nggak dapat keseluruhan cerita. Mereka hanya tahu sepotong. Dan, ya gue memaklumi itu. Jangankan mereka, gue aja tadinya berpikir bahwa jobdesc dan lingkungan bisa membuat gue bertahan. Tahunya….

Ini adalah keputusan resign kedua terberat setelah kantor pertama. Kami, sesama rekan kerja benar-benar bertahan sejauh ini, karena kami sama-sama merasakan hal serupa. Persamaan nasib. Gue bisa sejauh ini karena kami tahu bagaimana visi misi kami tak kunjung sama. Bagaimana kami sama-sama "rapuh". Bagaimana perbedaan itu berdampak pada kami. Bagaimana putus asanya ketika kelihatannya tak bisa lagi ada yang dilakukan. Bagaimana kami kadang menertawakan kebodohan kami, saat tahu ternyata kami sama-sama menangis saat bercerita ke pasangan masing-masing soal perbedaan ini. Bagaimana kami (atau mungkin gue) tidak lagi berusaha lebih giat untuk apa yang kami kerjakan.

Ini keputusan terberat karena nggak tega rasanya gue harus "kabur" sendirian meninggalkan mereka dengan kondisi yang sama-sama kami tahu. Ya, bisa jadi merekanya biasa aja, sih, hahaha.

Kaya yang setiap kali gue bilang pas kita-lagi-kesel-dan-capek-padahal-hari-kerja-baru-dimulai, "Cuma kalian doang geng yang berat gue tinggalin, sama anak-anak. Yang lain nggak." Itu benar.

Kalau ditanya, apakah alasan resign kali ini sudah tepat? Nggak tahu.

Resign pertama, alasannya mungkin kurang tepat. Gue sempat menyesalinya, untuk waktu yang lama.

Resign kedua, keputusan yang sangat tepat. Gue menemukan hal yang gue cintai di sini.

Lalu, bagaimana yang ketiga ini? Nggak tahu. Gue baru tahu kedua keputusan sebelumnya tepat atau nggak, setelah gue menjalaninya.

Semoga keputusan kali ini, bukan keputusan terburu-buru karena muak dengan apa yang terjadi. Semoga keputusan ini benar-benar sudah menimbang untung dan rugi. Semoga alasan resign gue kali ini cukup tepat. Semoga alasan resign gue ini, tidak menjadi alasan kalian resign juga. Sebab, itu artinya, sudah ada yang berubah di sana. Sudah semakin dekat kalian dengan visi misi yang sering kali muncul dalam kajian kita :) Dan itu juga berarti, kalian pindah karena ingin berkembang, bukan seperti gue yang mungkin "kabur" untuk menyelesaikan masalah.

Setiap kejadian hidup pasti ada pelajarannya, sama kaya waktu gue resign pertama dan kedua. Pelajaran dari sebuah keputusan resign yang membantu menemukan diri gue saat ini. Dan, semoga, kali ini, pelajarannya nggak susah dan nggak harus remedial.

Dan mungkin, mulai sekarang, jalani aja ke depannya kaya apa. Nggak perlu set a goal, "Gue akan pensiun di sini." Yah, biar mengalir aja.

Semoga 2021 lebih baik, ya. Apa pun itu.