Yang Orang Lupa Tentang Pernikahan

Setiap kali mendengar orang terdekat hendak melangkah ke pelaminan, apa yang ada dalam pikiranmu? Kebanyakan akan merasa senang, bahagia, terharu, excited, dan berbagai perasaan positif yang biasanya mengikuti.

Lainnya, yang belum sampai ke tahap itu, mungkin merasa iri. Bertanya-tanya, kapan gilirannya tiba. Kapan ia akan merasakan kebahagiaan itu?


Banyak orang mengasosiasikan pernikahan dengan kebahagiaan. Pernikahan adalah momen ketika akhirnya mereka yang saling mencinta bisa bersatu tanpa sekat. Saat di mana yang tadinya dua menjadi satu. Waktu ketika semua mimpi yang dulu terhalang status kini bisa mulai dibangun dan diwujudkan untuk kebahagiaan bersama.

Belum lagi bayangan perayaan di tengah teman, saudara, dan kerabat yang lama tak bertemu. Keceriaan satu malam itu seolah membuat pernikahan dan kehidupan setelahnya, kebanyakan diisi dengan kebahagiaan yang tak kunjung habis. Belum lagi, beberapa orang yang menjadikan pernikahan sebagai pencapaian terbesar. Tak ada gambaran lain selain kebahagiaan terkait pernikahan.

Tak ketinggalan kelompok lain yang menganggap bahwa pernikahan adalah saat akhirnya satu tanggung jawab yang selama ini ditanggung telah lepas. Pernikahan jadi momen "kebahagiaan" ketika kelompok itu menganggap bahwa dirinya telah sukses mendidik seorang anak. Pernikahan adalah sebuah momen ketika sebagian kelompok ini benar-benar melihat "kedewasaan" seorang anak. Ironisnya, bagi beberapa orang dalam kelompok ini, pernikahan juga dijadikan sebagai salah satu tolok ukur kebanggaan untuk terhindar dari sebutan-sebutan menyudutkan, seperti memiliki anak yang jadi perawan tua atau anak laki-laki yang tak laku-laku.

Ya, pernikahan kerap dikaitkan dengan kebahagiaan, kebanggaan, dan harga diri (atau mungkin gengsi lebih tepatnya).

Andai saja memang benar pernikahan sesederhana itu.
Andai saja memang benar pernikahan hanya berisi hal-hal membahagiakan.
Andai saja pernikahan memang benar-benar sesederhana menyatukan tanpa harus ada adaptasi.
Andai saja masalah gengsi dan teman-temannya memang benar-benar selesai pada hari resepsi pernikahan itu berakhir.
Andai saja....

Sayangnya, tidak.
Kebahagiaan dan gegap gempita dari gemerlap pesta pernikahan membuat beberapa orang kadang terhalang pandangannya untuk melihat apa yang ada di balik pernikahan. Semarak keceriaan resepsi membuat orang terkadang lupa bahwa pernikahan tidak pernah melulu tentang kebahagiaan.

Sedikit banyak, pernikahan juga tentang perpisahan. Perpisahan seorang anak dengan orangtuanya setelah puluhan tahun hidup dalam satu atap. Perpisahan antara seorang kakak dengan adiknya yang tadinya berbagi ruang terlelap. Perpisahan antara seorang sahabat yang tadinya bisa ke sana kemari sesuka hati. Dan perpisahan antara seseorang dengan kesenangannya yang tanpa beban menjadi sebuah tanggung jawab besar.

Pernikahan juga tentang kesiapan. Punya pasangan, punya pekerjaan, umur cukup, apa lantas itu disebut siap untuk menikah? Tidak juga.

Yang orang suka lupa tentang pernikahan, kesiapan bukan hanya dibutuhkan oleh kedua calon mempelai. Ini juga tentang kesiapan orangtua melepas anaknya. Berapa banyak orangtua yang dengan semangat mendorong anaknya untuk segera menikah detik ini juga, kemudian merasa sedih karena harus berpisah?

Sedih yang ditunjukkan dengan beragam cara. Sedih yang ia ubah menjadi kontrol terhadap anak. Menyuruh sang anak tinggal di dekatnya. Menyuruh sang anak pergi bersamanya setiap waktu. Merasa iri ketika sang anak menghabiskan waktu bersama pasangan hidupnya.

Sedih yang mungkin tak ditunjukkan tapi dalam hati terus membatin. Sedih yang tak diucapkan dimulut tapi kerap melempar sindiran agar sang anak "membalas budi". Sedih yang tak dipamerkan ke sang buah hati, tapi sibuk dipamerkan ke khalayak yang tahu apa-apa.


Pernikahan adalah tentang perubahan. Tidak hanya status, tapi juga tanggung jawab. Tidak hanya kewajiban, tapi juga prioritas. Orang kadang lupa karena ide tentang pernikahan mungkin sering dianggap menarik.
Orang kadang lupa, selain mempersiapkan pernikahan, kita perlu mempersiapkan segala perubahan.
Kebiasaan berkumpul bersama yang hilang jadi hanya berdua.
Kebiasaan bertemu sepulang kerja, jadi hanya seminggu sekali atau kurang.
Kebiasaan yang telah ada selama beberapa puluh tahun, berubah selamanya.

Ya, orang kadang lupa.
Aku juga.