Bisakah Kita Berbahagia untuk Orang Lain tanpa Harus Bertanya Mengenai Bahagia Kita?

Hatiku hangat.
Setiap melihat mereka mengunggah kebersamaannya dengan keluarga.

Hatiku hangat.
Melihat ayah, ibu, kakak, dia, dan pasangannya berada dalam satu meja.

Hatiku hangat.
Saat terlintas potret dirinya, pasangannya, orangtuanya, adiknya, dan pasangan adiknya tengah tersenyum lebar dengan latar belakang Gunung Fuji.
Atau kali lain melihatnya dengan semua, semua anggota keluarga besarnya, berfoto bersama.

Hatiku hangat.
Membaca bagaimana indahnya bisa bersama dalam momen-momen penting dengan orang-orang tercinta. Keluarganya.

Hatiku hangat.
Menyaksikan pasangannya bersenda gurau dengan orangtuanya. Tak ada kekakuan di sana. Semua mengalir seolah seperti sebagaimana seharusnya.

Hatiku hangat.
Mendengar ceritanya bisa bebas sesuka hati ke sana kemari tanpa harus memikirkan adanya hati yang mungkin tersakiti.

Hatiku hangat.
Melihat seorang teman yang dengan mudah menggandeng pasangannya di setiap plesir keluarganya.

Hatiku hangat.
Melihat seorang teman bisa merasa tak ada perasaan yang berubah, terhadap dirinya, terhadap keluarganya setelah memasuki fase baru.

Hatiku sungguh hangat melihat bagaimana penyatuan dua orang benar-benar menyatukan mereka. Menyatukan aku dan dia menjadi kita. Menyatukan kami dan mereka menjadi kita semua.

Aku bahagia atas itu. Tapi, ada iri terselip di sana.

Pagi ini, aku membaca sebuah untaian bijak dari orang biasa dengan pemikiran luar biasa.
Katanya,
Bisakah kita bahagia tanpa mengingini bahagia orang lain.
Bisakah kita bahagia karena kita benar-benar bahagia atas kebahagiaan mereka.
Bisakah kita bahagia tanpa bertanya kemudian, "Mengapa saya tidak bisa bahagia seperti mereka?"
Bisakah kita bahagia tanpa berbisik dalam hati, "Kapan aku bisa begitu?"

Bisakah?