Tak Akan Pernah Merasa Cukup

Kadang suka iri lihat postingan teman-teman yang sudah menikah dan bersama keluarga barunya. Bukan, bukan iri karena belum menikah. Iri karena mereka begitu tampak bahagia.

Suatu kali melihat postingan Ernest Prakasa lagi liburan sekeluarga ke Jepang. Captionnya menuliskan sambutan selamat datang kepada adik ipar "baru"-nya di acara liburan rutin tahunan keluarganya. Keterangan foto masih dilanjutkan dengan doa semoga mereka bisa mengulangnya lagi tahun depan dengan tambahan personil. Ditulis dengan (mungkin) tanpa beban. Tanpa harus memikirkan ada yang tersakiti, karena mungkin memang tidak ada.

Bersatunya dua keluarga, di mana sisi menyakitinya?

Iri. Iri karena mereka ke Jepang. Iri karena mereka bisa berlibur sekeluarga dengan tambahan personel baru tanpa harus memikirkan ada yang benci dengan keadaan itu (mungkin).

Kali lain melihat postingan Chelsea Olivia yang tengah merayakan Imlek dengan keluarga besar Glenn Alinskie, tapi "terselip" pula kakak Chelsea di sana. Senang. Tak ada yang sedih. Hanya tampak aura keceriaan saja. Bahkan, satu sama lain memuji dan berkata betapa menyenangkannya acara tersebut.

Lagi, iri.

Semudah itu seharusnya bukan?

Suatu hari, melihat postingan seorang teman yang dibuatkan makan malam oleh ibu "baru"-nya. Lope lope bertebaran di postingan tersebut.

Iri karena nggak dibuatin makanan? Nggak. Iri karena andai saja kenyataan semudah yang tampak di sosial media.

Entah bagaimana dengan mereka...
Entah mereka menampilkan yang sebenarnya atau tidak...
Tapi kita sepakat bahwa apa yang ditampilkan di sosial media belum tentu benar...
Meski sekalipun belum tentu benar, kita tetap saja iri dan terusik melihatnya.

Iri.
Saat mereka bisa dengan santai bertemu kedua keluarga tanpa memikirkan hal lain.

Iri.
Iri karena mereka bisa pergi bersama, aku tidak.

Iri.
Iri karena mereka bisa berangan-angan merencanakan sesuatu, aku tidak.

Rindu.
Rindu ke sana kemari bersama yang tercinta tanpa takut ada yang tersakiti.
Rindu tertawa bersama semua tanpa khawatir bahwa kita tertawa di atas air mata orang lain.
Rindu mengusulkan ide yang belum tentu terlaksana (dan seringnya tidak), tanpa harus menahan diri karena takut benar-benar hanya harapan kosong yang bisa diberikan
Rindu memimpikan semuanya baik-baik saja padahal kenyataannya tidak.

Ah, tapi...
Kata orang, jika hanya kekurangan saja yang menjadi fokus kita, sampai kapan pun kita tidak akan pernah merasa cukup.
Daripada itu, bukankah lebih baik fokus pada apa yang kita punya?
Bukankah lebih baik terus menghitung berkat daripada mengitung apa yang belum didapat?

Ya, itu memang lebih baik
Tapi, kalau aku rindu dan ingin, bolehkan?