Kalau ditanya, menurut kalian, pernikahan itu apa sih?
Kemarin sempat coba tanya sana-sini. Ternyata jawabannya lumayan beragam.
Ada yang jawab kalau pernikahan itu adalah saat di mana kalian ikhlas dan mau hidup bersama seseorang yang bakal kalian liat tiap hari sampe muak. Mau dia jelek kaya apa pun, ikhlaslah terima dia karena itu udah jadi pilihan kalian. Pernikahan berarti kamu udah ikhlas dengan segala keburukan dia dan mau deal dengan itu semua.
Teman yang lain menjawab, pernikahan itu komitmen. Klise ya? Tapi it’s true. Satu-satunya yang membedakan pernikahan dengan masa pacaran adalah komitmen. Komitmen yang jauh lebih kuat. Cinta nggak akan cukup buat ngehidupin pernikahan kalian, Gais. Kalau kalian megang komitmen dengan komit (naon?), pernikahan baru bisa bertahan. Gitu katanya.
Satu teman lagi menjelaskan pernikahan dengan definisi yang agak beda juga, meski udah umum kita tahu. Menurut mbak ini, pernikahan itu menyatukan dua pribadi. Dua kepala jadi satu. Dua pemikiran supaya jadi satu dan bisa jalan bareng. Lebih jauh lagi, kata dia, pernikahan itu menyatukan kedua keluarga kalian. Keluarga kamu dan pasangan kamu sehingga kalian jadi satu keluarga besar.
Yaaa, kalian juga pasti udah sering banget baca definisi pernikahan yang macam begitu. Meski ada juga sih temen akik yang jawab, “Pernikahan adalah saat yang gue nanti-nantikan akhirnya tiba. Nggak jomblo dan ada yang nemenin bobo. Uuunchhh.” Agak centil emang kalo yang ini.
Buat gue sendiri, pernikahan itu artinya menyatukan dua kelompok. Kenapa? Pikiran itu telanjur tertanam di gue sejak dulu. Orangtua gue selalu bilang kalau pernikahan itu bukan hanya kaliannya yang menikah, melainkan semua anggota keluarganya. Mulai dari orangtua pasangan, kakak pasangan, sepupu, sampe tantenya pun akan kita “nikahi”. Maka dari itu, masih kata mama papa akuhhhh, mental yang harus disiapkan bukan hanya menerima seperti apa sifat pasangan, tapi juga keluarganya. Ya meskipun menurut mereka, penerimaan sifat pasangan harus lebih besar karena dia kan yang akan kamu lihat tiap bangun dan mau tidur?
Gue setuju. Bukan hanya karena sudah ditanamkan sejak dulu, tapi karena pernikahan memang intinya dua menjadi satu, kan?
Sama seperti ketiga teman ogut yang punya definisi beda-beda, orang lain begitu juga, yang sayangnya, nggak sama dan mungkin bisa dibilang bertolak belakang. Ada yang bilang pernikahan itu berarti saat pihak perempuan menjadi sepenuhnya milik lelaki, namun tak berlaku sebaliknya. Ketika seseorang menikah, terutama perempuan, dia harus mengikuti laki-laki. Bahkan, laki-laki mungkin nggak terlalu penting untuk “bergabung” ke pihak keluarga perempuan. Ibaratnya, dalam kalimat yang lebih kasar, kedudukan perempuan nggak seharusnya “dianggap” lagi di keluarga si perempuan. Si perempuan harus benar-benar lepas.
Yang didahulukan harus laki-laki. Kalau zaman sebelum menikah si laki-laki masih suka main ke rumah perempuan, aturan ini bisa berubah 180 derajat ketika menikah. Kasarnya lagi (aku suka ngomong kasar memang), perempuan nggak boleh banyak berhubungan dengan seluruh keluarganya.
Keliatan basi? Iya. Tapi kejadian. Ya meski kejadiannya udah lama. This is happened to my grandparents. Setelah menikah, oma gue nggak lagi seleluasa dulu ketemu keluarganya. Hal ini udah pasti sih mengingat prioritas kalian yang pasti akan berubah ketika menikah. Tapi paham lah maksud gue ya dengan “leluasa”? Kalo nggak paham coba telepon kakak ya, Dik. Nanti kakak jelasin.
Karena pernikahan, oma gue bisa dibilang jadi jauh dengan keluarganya. Anak-anaknya (salah satunya ibu gue), nggak terlalu dekat dengan keluarga oma gue. Bisa kenal sama kakak (eh, oma gue punya kakak nggak, ya?) dan adik kandung oma gue aja, mereka udah harusnya terima kasih.
Habis nikah, oma gue bener-bener ikutin opa gue. Nurut. Yang sedih, akhirnya dia hanya menurut dan nggak terlalu banyak memiliki keinginan sampai sekarang. Kasihan sih.
Lho, apa yang salah dari nggak memiliki keinginan?
Gais, untuk apa kalian hidup kalau nggak ada lagi motivasi? #eak
Kenapa sih definisi kaya gitu bisa muncul? Menurut sotoy gue, budaya. Sistem patriarki kenceng di bumi Indonesia.
Karena hal itu, nyokap gue tumbuh seperti ibu kartini. (Monmaap, gimana maksudnya?) Yaa dia berusaha untuk berlaku adil. Nggak ada yang namanya cewe itu nggak bisa dianggap penting di keluarga. Nggak ada yang namanya cewek hanya bisa bergantung ke laki-laki. Nggak ada yang namanya perempuan cuma bisa minta kalau mau beli sesuatu.
Nggak ada yang namanya perempuan ikut laki atau lelaki ikut perempuan. Nggak usah yang namanya ikut-ikutanan. Kalau sekarang, anak-anaknya ke rumah ‘laki-laki’ (bapak gue), besok harus gantian anak-anaknya ke rumah ‘perempuan’ (pihak nyokap gue). Dari sini dia mau nunjukkin bahwa nggak ada yang namanya perempuan ikut laki. Semua harus adil. Masing-masing pihak punya keluarga yang tetap harus dipersatukan. Bukan malah dipisahkan. Mungkin dia mau nunjukkin ke orangtuanya, bahwa beginilah seharusnya pernikahan dan keluarga.
Dan gue, lagi-lagi, setuju. Gara-gara diceritain ginian kayanya gue jadi punya definisi pernikahan seperti yang itu.
Ya intinya dia memperjuangkan agar kedudukan dia dan suaminya (bapak gue) bisa seimbang. Setara. Syukurnya, ayahku orang yang demokratis. Jadilah mereka hidup bahagia. HAHAHAHA
Apa sih tujuan tulisan ini? Nggak ada. Sharing aja mengenai adat dan budaya yang mengakar di masing-masing keluarga. Kaya nggak tau aja gue suka bikin tulisan nirfaedah macam begini. Sama kaya buku gue yang dulu. Maap promosi.
Budaya itu bisa membuat kita kaya. Tapi, kalau nggak bijak, bisa juga bikin kita (dan, tanpa kita sadari, orang lain) tersiksa.
Benar bahwa ketika menikah prioritas menjadi berubah. Kalau pas belum menikah prioritasmu adalah keluargamu--ayah, ibu, kakak, adik--setelah menikah prioritasmu adalah pasanganmu. Ingat, pasangan. Bukan hanya istri atau suami. Suamimu akan menjadi prioritasmu sebagai istri. Dan istri akan menjadi prioritas suami. Keluarga kalian yang dulu ada di nomor dua. (Eh Tuhan paling pertama tapi).
Seorang teman pernah berkata, yang namanya menikah itu, nggak peduli orangtua, mertua, kakak, kakak ipar, adik, adik ipar, tetangga, sepupu berbuat apa pun ke kalian (hal yang menurut kalian nggak seharusnya dilakukan), selama pasangan kalian ada di pihak kalian, selama pasangan menempatkan kalian sebagai prioritasnya, dan selama pasangan nggak memikirkan kesejahteraan orang lain selain kesejahteraan kalian berdua sebagai pasangan baru, kamu nggak perlu pusing apa kata orang di luar sana.
Kata-kata orang nggak akan pernah habis untuk membuat kalian berada dalam posisi terpuruk. Selama komitmen yang kalian pegang, kuat, semua bakal baik-baik saja.
Lalu, apa pasangan gue saat ini sudah seperti yang dibilang oleh seorang teman? Syukurnya, iya. Sejauh ini. Dan semoga akan terus begitu. Pun dengan gue.
Masih kata seorang teman:
Pernikahan kalau hanya modal cinta, tanpa Tuhan dan komitmen, pasti akan hancur. Yang harus selalu diingat, “Apa yang dipersatukan Tuhan tak boleh diceraikan oleh manusia.” Maka, perkuatlah komitmen antara kamu, pasangan, dan Tuhan.