Pahlawan biasanya identik dengan pejuang
kemerdekaan. Banyak dari mereka yang diidentikan dengan negara tempat
tinggalnya. Bagaimana tidak? Pahlawan merupakan sebutan bagi orang yang
berjuang untuk nama baik bangsanya. Pahlawan tidak selalu identik dengan peperangan,
tewas, bambu runcing atau segala perangkat yang berkaitan dengan usaha kita
dulu untuk memerdekakan diri dari penjajah. Pahlawan bisa datang dari berbagai
aspek selama dia memang berjuang atau berusaha demi negara atau demi orang
lain. Aspek pahlawan bisa saja datang dari dunia olahraga, seniman, ilmuwan dan
lainnya.
Di Indonesia sendiri, sekarang ini rasanya semakin
sedikit dapat kita temukan penghargaan pada para pahlawan khususnya para
veteran yang dulu pernah berjuang bagi merdekanya Indonesia. Bukan hanya itu,
pahlawan dari aspek lain pun seolah tak ada penghargaan lagi untuk mereka. Mari
kita lihat dari dunia pahlawan kemerdekaan. Ingat dengan kisah pengibar bendera
pertama Republik Indonesia? Saat ini hidupnya berada di pinggiran rel kereta.
Keadaan ekonomi yang pas-pasan membuat keluarganya tak punya pilihan selain
tinggal di pinggir rel.
Kisah lainnya, sebut saja presiden ketiga kita,
BJ. Habibie. Siapa dia di Indonesia? Bisa saja sebagian besar dari kita
mengetahui dia sebagai sosok presiden ketiga, wakil presiden Soeharto. Di
Jerman, Habibie terkenal sebagai teknisi pesawat yang andal. Kejeniusannya di
dunia penerbangan diakui oleh Jerman, sehingga membuat dia betah tinggal disana.
Dirinya dan keluarga bahkan memiliki rumah tinggal untuk menetap disana, ketika
dirinya diminta menjadi wakil presiden oleh Soeharto, barulah dirinya kembali
ke Indonesia. Setelah selesai menjabatpun dirinya kembali ke Jerman dan kembali
ke tanah air ketika sang istri meninggal dunia.
Dari dunia olah raga, Indonesia yang baru saja
menyelesaikan PON, dengan Riau sebagai tuan rumahnya. Salah satu cabang
olahraga yang dipertandingkan adalah renang. Dalam cabang olahraga ini,
perenang yang diandalkan adalah Siman Sidarta. Siman Sidarta adalah atlet
renang asal Bali yang sebelumnya digadang-gadang menjadi peraih medali pada
olimpiade London. Namun, siapa sangka dalam PON dia tidak membela daerah asal
kelahirannya, Bali? Dalam PON Riau dirinya membawa nama Riau. Bagaimana bisa?
Dirinya menyebutkan bahwa dia tidak dapat berkembang di daerah asalnya, Bali,
karena kurangnya dukungan dalam segi materiil maupun moral dari pemerintah
Bali. Menurutnya fasilitas di Bali dinilai kurang bahkan cenderung minim untuk
menunjang karir atletnya. Maka agar dirinya mampu berkembang lebih baik,
dirinya memutuskan untuk “hijrah” ke Riau yang saat itu mampu memfasilitasi
dirinya dan hal itu berlangsung sampai sekarang.
Beralih ke topik lain. Hampir semua masyarakat
Indonesia pasti mengenal karakter Upin dan Ipin. Karakter animasi dua kakak beradik
kembar ini merupakan tokoh animasi asal malaysia yang mulai diputar di
Indonesia sejak beberapa tahun lalu. Pertama kemunculan Upin dan Ipin tidak
langsung menarik hati masyarakat Indonesia, namun dalam waktu singkat mereka berhasil
merebut hati masyarakat dan mampu menjadi tontonan yang ditunggu. Siapa dibalik
layar Upin dan Ipin? Salah satunya adalah Chikita Fawzi, anak dari Ikang Fawzi.
Perempuan asli Indonesia ini bekerja untuk Malaysia dalam pembuatan karakter
animasi Upin dan Ipin di rumah produksi Les Copaque. Dirinya mengatakan peluang
untuk berkembang di Indonesia sangat kecil saat itu untuk menciptakan animasi,
maka dari itu dirinya bekerja disana.
Terlepas dari rasa nasionalisme, sikap mereka
sangatlah wajar. Mereka bukanlah tidak nasionalis. Dalam menjalankan tugasnya
mereka pasti tetap membawa nama Indonesia sebagai “orang tua” mereka. Setiap
manusia pada dasarnya mau berkembang dan maju, agar mampu mewujudkan asanya. Maka
dari itu mereka harus berjuang dan
berhak untuk mendapatkan wadah yang sesuai. Apabila tempat asalnya tidak mampu
mendukung kegiatannya, maka mencari tempat lain menjadi wajar, sehingga rasanya
kurang pas apabila kita menyalahkan mereka dan menilai mereka “durhaka”.
-Rena Widyawinata